Performa gemilang Alcantara dan rekan-rekannya membuat Barcelona pada masa kepresidenan Gamper semakin menjadi favorit di kalangan orang-orang Katalunya. Namun, periode kejayaan ini berakhir lebih cepat dari yang diharapkan.
Pada saat Barcelona menghadapi CE Jupiter di kandangnya pada 14 Juni 1925, suporter Blaugrana yang kesal dengan kediktatoran keluarga Primo de Rivera menyoraki "Royal March", lagu kebangsaan Spanyol. Sikap ini dianggap sebagai penghinaan terhadap kerajaan Spanyol. Sepuluh hari setelah insiden tersebut, Gamper dipecat dari jabatannya sebagai presiden klub.
Barcelona juga dijatuhi sanksi penutupan stadion selama enam bulan. Meskipun hukuman ini kemudian dipangkas menjadi tiga bulan, penutupan stadion tetap memberikan pukulan finansial yang berat bagi klub.
Pada 30 Juli 1930, sekitar lima tahun setelah turun dari jabatan presiden klub, Gamper ditemukan meninggal di Montjuïc Cemetery. Depresi dan masalah keuangan yang berkepanjangan mendorong pria asal Winterthur, Swiss itu untuk mengakhiri hidupnya.
Kematian Gamper menjadi awal dari masa sulit bagi Barcelona. Meskipun masih berhasil tampil baik dalam turnamen lokal, performa mereka menurun di tingkat nasional. Selama tahun 1930-an, pencapaian terbaik mereka hanya finis di peringkat ketiga dalam Liga Spanyol.
Perang saudara di Spanyol yang menyebabkan vakumnya kompetisi sepakbola semakin membuat orang-orang Katalunya kehilangan minat untuk menghadiri pertandingan. Jumlah anggota kelompok suporter resmi Barcelona turun drastis menjadi hanya 2.500 orang, menciptakan salah satu periode tergelap dalam sejarah klub.
Namun, seiring berjalannya waktu, politik kembali memainkan peran penting dalam membangkitkan semangat sepakbola di kalangan orang Katalunya. Peristiwa penting dimulai pada 6 Agustus 1936 ketika presiden aktif Barcelona, Josep Sunyol, tewas tertembak oleh anak buah jenderal fasis pemberontak, Francisco Franco, di Serra de Guadarrama, Madrid.
Tindakan rezim Franco yang memaksa Barcelona untuk menghapus simbol bendera Katalunya dari logo mereka, serta kebijakan diskriminatif terhadap klub dan pemain asing, menimbulkan luka yang dalam bagi orang-orang Katalunya. Namun, luka ini memicu kembali cinta mereka terhadap Barcelona yang sempat redup.
Dampak dari dukungan yang meningkat membuat Barcelona tampil lebih kuat di lapangan. Hanya satu musim setelah tragedi kekalahan melawan Madrid, Blaugrana meraih gelar juara Liga Spanyol pada musim 1944-1945. Ini merupakan gelar liga pertama mereka sejak 1929, pada masa kehidupan Gamper.
Generasi yang sama kemudian meraih gelar juara dua musim berturut-turut, pada 1947-1948 dan 1948-1949. Beberapa pemain yang menjadi sorotan pada era ini antara lain Cesar Rodriguez, Antoni Ramallets, Juan Vellasco, dan Mariano Gonzalvo.
Bersamaan dengan kesuksesan ini, jumlah anggota kelompok suporter resmi Barcelona pada tahun 1949 mencapai 25.000 orang.
Rivalitas
Kian Panas
Di era 1950-an, persaingan antara Barcelona dan Real Madrid semakin memanas. Sentimen politik yang masih kuat sering kali membuat intrik di antara kedua klub ini melebar ke luar lapangan, termasuk dalam hal perekrutan pemain.
Pada awal 1950-an, Barcelona berhasil mengalahkan Real Madrid dalam perebutan pemain yang kemudian dianggap sebagai dewa Katalunya: Ladislao Kubala. Pesepakbola asal Hongaria ini membuat debutnya pada musim 1951/52 dan segera menyesuaikan diri dengan taktik pelatih Ferdinand Daucik.
Di musim pertamanya, Kubala tampil gemilang dengan mencetak 26 gol dalam 19 pertandingan. Perannya menjadi kunci dalam membantu Barcelona meraih lima gelar di akhir musim: Liga Spanyol, Copa del GeneralÃsimo, Copa Eva Duarte, Piala Latin, dan Copa Martini Rossi.
Namun, pada awal musim 1953-1954, Real Madrid tidak tinggal diam. Mereka membalas dengan merekrut Alfredo Di Stefano, pemain berbakat yang sebelumnya sempat berada di Barcelona. Kedatangan Di Stefano ke ibu kota Spanyol menandai awal dari dominasi Real Madrid.
Antara tahun 1951-1965, Barcelona, yang diperkuat oleh pemain-pemain seperti Luis Suarez Miramontes, Sandor Kocsis, dan Ramallets, hanya berhasil meraih gelar juara liga sebanyak empat kali. Sementara itu, Real Madrid berhasil membawa pulang trofi liga ke ibu kota sebanyak sembilan kali (dua edisi lain dimenangkan oleh Athletic Bilbao).
Keberhasilan ini juga tercermin dalam kompetisi Eropa. Sejak Piala Champions dimulai pada tahun 1955 hingga edisi 1965, Real Madrid berhasil meraih gelar juara sebanyak enam kali. Kombinasi Di Stefano dengan pemain bintang lain seperti Ferenc Puskas, Raymond Kopa, Héctor RÃal, dan Francisco Gento membuat Real Madrid terlihat sebagai tim yang tak terkalahkan.
Di sisi lain, Barcelona tidak pernah meraih kesuksesan di Eropa. Pencapaian terbaik mereka adalah saat mencapai final dan kalah dari Benfica pada musim 1960-61.
Selain faktor kekalahan dalam pertandingan, kemunduran Barcelona juga tidak terlepas dari keputusan untuk membangun stadion baru, Camp Nou, pada tahun 1957. Proyek pembangunan ini membuat Barcelona harus menghemat dana untuk perekrutan pemain.
Mes
Que Un Club
Pada era 1950-an, Barcelona butuh waktu lama untuk mengejar dominasi Real Madrid dalam prestasi sepak bola. Namun, sebagai kekuatan massa, Barcelona mengalami kemajuan pesat menjelang era 1970-an.
Tanda-tanda kemajuan ini mulai terlihat ketika presiden klub terpilih Barcelona pada tahun 1967, Narcis Serra, berhasil memperkuat dukungan suporter dengan memperkenalkan slogan "mes que un club" (lebih dari sekadar klub) dalam pidatonya. Slogan ini pertama kali dipopulerkan oleh Serra dengan tujuan menjadikan Barcelona sebagai simbol nilai-nilai kemanusiaan, ambisi kebebasan, sportivitas, dan kesetaraan, yang juga mewakili masyarakat Katalunya.
Ketika rezim Franco hampir runtuh pada pertengahan 1973, slogan "mes que un club" kembali diperkuat oleh Agusti Montal, presiden Barcelona saat itu. Montal menyadari bahwa kekuasaan Franco sedang goyah dan berusaha menekan klub yang sangat dibencinya dengan merekrut Johan Cruyff, pemain Ajax asal Belanda yang juga diminati oleh Real Madrid.
Meskipun kesepakatan antara Real Madrid dan Cruyff hampir tercapai, Montal berhasil menggagalkannya dengan tawaran transfer yang tinggi, menjadikan Cruyff sebagai rekrutan termahal pada saat itu. Kedatangan Cruyff ke Barcelona menjadi momen penting, di mana dia berhasil membawa klub meraih gelar juara Liga Spanyol pertama sejak 1959 pada musim 1973-1974.
Setelah merayakan kesuksesan tersebut, berita baik datang: rezim Franco resmi runtuh. Barcelona kemudian mengubah nama klub dari CF Barcelona menjadi FC Barcelona dan mengimplementasikan kembali simbol empat garis warna bendera Katalunya ke dalam logo klub.
Pada tahun 1978, Barcelona melangkah lebih jauh dengan menerapkan aturan di mana presiden klub dipilih melalui voting anggota kelompok suporter resmi, sebuah sistem yang masih berlaku hingga sekarang. Josep Lluiz Nunez, presiden pertama yang terpilih melalui sistem ini, memimpin klub selama 20 tahun dan membawa stabilitas pada Barcelona.
Selama kepemimpinannya, Nunez menanamkan falsafah penting, seperti menjadikan Barcelona sebagai tim yang tidak bergantung pada individu tertentu. Di era Nunez, akademi sepak bola Barcelona, La Masia, didirikan, dan alumni La Masia seperti Guillermo Amor, Pep Guardiola, Carles Puyol, Gerard Pique, Sergio Busquets, hingga Lionel Messi, memberikan kontribusi besar terhadap kesuksesan klub.
Kebijakan merekrut pelatih yang memahami prinsip dasar Barcelona juga membantu dalam mengembangkan talenta-talenta ini. Namun, di akhir masa kepemimpinannya, Nunez sering terlibat cekcok dengan orang-orang di sekitarnya, karena dianggap tidak lagi menjaga komitmen terhadap nilai-nilai klub.
Setelah Nunez lengser, jabatan presiden klub berpindah tangan beberapa kali, sementara generasi pemain terus berganti seiring berjalannya waktu. Saat ini, Barcelona telah mengoleksi tak kurang dari 94 trofi kompetisi nasional dan internasional, mengukuhkan semboyan bahwa FC Barcelona memang bukan klub biasa.